Rabu, 03 November 2010

Sejahtera tidak, demokrasi pun tidak




Demokrasi uang
Fakta menunjukan bahwa biaya pemilu, pilpres, dan pilkada amat besar. Biaya dan mutu demokrasi yang dihasilkan tidak seimbang. Reaksi yang muncul ada yang mengatakan bahwa demokrasi dapat di nomorduakan yang penting kesejahteraan.

Dalam pidato pengukuhan guru besar di UGM, riswandha imawan beberapa tahun silam menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia mulai bergerak menjauh dari pengabdian kepada kepentingan rakyat. Demokrasi telah menjadi kendaraan efektif bagi elite untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, bukan diikhtiarkan untuk rakyat. kalaupun ada konsep ikhtiar untuk rakyat, semua hanya lips service.

Suara rakyat dapat kita beli sebagaimana kita lihat contohnya dalam pemilu dan pilkada di banyak tempat. Maka, yang muncul sebagai calon dalam pilkada dan pilpres adalah mereka yang punya uang dalam jumlah amat besar, walaupun mereka tidak punya integritas. Tokoh yang punya kemampuan dan karakternya baik

Hati nuraniku dan nuranimu



Seorang sufi yang bernama Suhrawardi pernah mengatakan kepada para muridnya, “jagalah dirimu seperti landak menjaga dirinya. Ia melindungi perutnya dengan merapat ke tanah dan melindungi punggungnya dengan duri-duri keras, sehingga bagian dalamnya terjaga dan bagian luarnya terlindungi. Minumlah pahitnya dunia agar kamu hidup sejahtera, dan cintailah kematian supaya kamu berumur panjang.”
Rasanya, disaat jatidiri insaniah sedang terancam kehancuran akibat berbagai serbuan krisis rohani dan jasmani, wasiat para pemuka kaum bijak ini layak dicamkan dengan seksama. Sebab, menurut Sigmund Freud, perilaku manusia adalah hasil interaksi Id, Ego, dan superego. Id, atau istilah agamanya adalah hawa nafsu, menyimpan dorongan-dorongan biologis, berupa libido yang merupakan insting reproduktif serta konstruktif, dan Thanatos yang bersifat agresif dan destruktif.
Celakanya, Id selalu ingin segera melampiaskan kebutuhanya, tanpa peduli bagaimana caranya, yang penting